Matahari
hampir lingsir ke balik cakrawala. Semburat oranye cerah menyeruak dari balik
gunung. Kota Yogyakarta bersolek. Jalan malioboro telah sesak dipenuhi
pengunjung sejak sore hari. Tenda-tenda dikibarkan, kabel-kabel diurai, bohlam
dinyalakan. Gerai-gerai bersantap di bawah langit terbuka telah siap menyambut
tetamu. Kerlap-kerlip lampu dari berbagai toko seolah bersenyawa dengan kepulan
asap dari beragam makanan bakar yang dijajakan di pinggir jalan. Aku bisa
mendengar kumandang bermacam bahasa dari para wisatawan mancanegara yang tengah
melancong. Ada inggris, arab, china, india,
dan beberapa francophone.
Aku
masih menimang-menimang congklak kayu berhiaskan ukiran batik jepara yang baru
saja ku beli di salah satu toko pernak-pernik khas Jawa dengan harga miring.
Congklak tradisional ini akan ku gunakan sebagai media bermain dan belajar di
Sekolah Alam ku. Sang pemilik toko rela melepas benda unik ini dengan harga
sangat murah bukan perihal bahasa Jawa kromo alus yang tak jarang membuatku
garuk-garuk kepala karena tak memahami artinya, tapi karena ia adalah salah
satu kawan lama mama saat dulu mama masih membuka sebuah warung soto di salah
satu ruko di jalan Malioboro ini. Ia mengenal baik keluarga kami terutama aku
karena kerap membantu mama melayani pengunjung selepas sekolah.
Tentang
kromo alus, aku memang bukan seorang penutur basa Jawa yang baik. Aku cukup
mengerti jika orang lain berbicara menggunakan basa Jawa pergaulan kepadaku,
dan aku bisa menimpalinya dengan basa Jawaku yang ala-kadarnya. Tapi itu pun
kulakukan benar-benar seadanya, aku tidak terlalu fasih untuk hal ini, lidahku
mendadak kelu dan suara yang kuucapkan justru malah akan terdengar aneh.
Aku memang tinggal di Yogyakarta, kota yang
kesehariannya seringkali menggunakan basa Jawa sebagai bahasa keseharian selain
bahasa Indonesia. Namun keluargaku, papa dan mama hampir tidak pernah bicara
atau mengajarkan anak-anaknya bertutur dalam basa Jawa, terlebih lagi kromo
alus. Alhasil, aku pun lebih sering bicara menggunakan bahasa Indonesia.
“Ya
Allah, Nduk. Udah lama ga ketemu. Piye kabare? Budhe kangen banget sama kamu, Nduk.
Manggon nang ndi saiki?” Tanya Budhe Sum, pemilik toko pernak-pernik itu.
Tangannya langsung merengkuh bahuku dan mendekapnya erat saat mengetahui bahwa
pengunjung tokonya petang itu adalah seorang gadis yang dahulu sering
disangoninya kembang gula setiap kali berkunjung ke warung mama untuk makan
siang. Akibatnya mama harus rajin mengantarkanku ke dokter gigi dua kali setiap
bulannya untuk memastikan arum manis itu tidak menggerogoti gigi-gigiku. Budhe
Sum selalu memanggil setengah berteriak setiap kali bertemu denganku di
manapun. Ia selalu menganggapku seperti anaknya, karena ketiga anak kandungnya
yang kesemuanya adalah laki-laki telah berkeluarga dan menetap di kota lain.
Usianya 10 tahun di atas mama. Tapi wajahnya masih berseri. Matanya jernih sebening
telaga. Pembawaannya selalu hangat dan menentramkan. Satu hal yang menjadi ciri
khasnya, ia gemar sekali menggelung rambutnya yang menjuntai panjang dengan
menggunakan tusuk konde tembaga bertahtakan hiasan berbentuk bunga anggrek yang
merekah. Katanya, itu adalah hadiah pernikahan yang sengaja dipesan khusus oleh
mendiang suaminya di kaki Gunung Lawu. Karena sama-sama berjuang sebagai single
fighter, Budhe Sum dan mama seringkali merasa cocok dalam setiap
perbincangan.
Dulu
hampir setiap hari Budhe Sum makan di warung soto milik mama. Meskipun nama
yang tertera di spanduk depan warung adalah ‘Warung Soto’, tapi menu yang disediakan tidak melulu berupa sajian
soto. Tersedia juga hidangan nasi rames, nasi goreng, ayam goreng, dan ayam
bakar. Sejak papa meninggal, roda kehidupan keluarga kami berputar cepat.
Sepeninggal mendiang papa, keluarga kami yang semasa hidup papa dikenal orang
sebagai pemilik restoran ternama di kota Yogyakarta, harus menelan pahit
kenyataan bahwa restoran kami terpaksa harus gulung tikar karena tidak mampu
bertahan dalam persaingan bisnis kuliner yang ketat di kota ini. Ditambah lagi
pembiayaan obat dan terapi mama membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka
untuk terus dapat bertahan hidup dan demi melanjutkan sekolah anak-anaknya,
mama rela banting tulang membuka warung soto sejak pagi hingga malam di tengah
kondisi fisiknya yang begitu rapuh. Budhe Sum lah yang kerap datang untuk
sekedar makan siang atau bahkan membantu mama yang kelelahan melayani
pengunjung warung, sementara tokonya dijaga oleh dua anak buahnya.
“Hehe.. Iya Budhe. Ambar kangen juga sama
Budhe. Alhamdulillah Ambar dan Loka baik-baik aja. Kita tinggal di rumah teman
karibnya papa sama mama di Bandung. Sekarang lagi liburan. Hitung-hitung mau
kangen-kangenan sama kota ini, Budhe” Jawabku membalas erat pelukannya.
“Alhamdulillah. Pokoknya kalau ada apa-apa
kabarin Budhe lho. Nggo ngelegakne atine wong tuwo. Pokoke sering-sering dolan mrene.
Ojo mung wayahe liburan tok lho.”
“Nggih, Budhe. Matur nuwun.” Kataku berbinar
sembari menerima bungkusan berisi congklak yang Budhe Sum angsurkan ke
hadapanku.
“Tenane lho, Nduk. Sering-sering main.”
“Nggih, Budhe. Ambar usahain.” Kataku
memandangi Budhe Sum yang sedari tadi memasang raut wajah khawatir.
Setelah
berpamitan dan saling bertukar nomor telepon, aku beranjak dari toko dan
berlari kecil menyusuri serambi-serambi toko sepanjang jalan Malioboro.
Beberapa kali aku sempat tanpa sengaja menubruk kerumunan anak muda yang tak
mau bergerak karena sibuk menawar harga barang yang diincarnya di emperan toko,
membuat macet lalu lalang pengunjung yang lain. Beberapa kali pula aku harus
sedikit meninggikan suaraku sambil berkata “permisi” kepada kerumunan yang
lainnya.
Malam
ini adalah malam minggu, tak heran jika riuh rendah suara pengunjung makin
menggema menyesaki jalan ini. Sejak senja tenggelam, tak serta merta ikut
meredupkan indahnya ruas jalan yang paling legendaris di kota ini. Semaraknya
justru baru saja dimulai. Tak sekedar hiruk pikuk interaksi antarmanusianya di
siang hari, saat hari telah gelap dan lampu-lampu kota mulai berpendar
cemerlang, kota ini akan menampakkan wajah eloknya. Di sepanjang jalanan kota,
aku selalu menikmati pemandangan bangunan lawas terawat yang disandingkan
dengan mall ataupun hotel dan bangunan modern lainnya. Romantisme kota ini lah
yang membuatku tidak bisa berpaling darinya. Terlebih, kota ini tergenapi
dengan berbagai kenangan bersama mama.
Menciptakan rembesan hangat di sudut mataku ketika terlalu dalam mengenangnya.
Aku bersegera menuju pelataran hotel tempat
ayah, bunda, dan Loka menungguku untuk makan malam. Malam ini adalah perayaan
hari pernikahan ayah dan bunda. Mereka bertemu dan menikah di kota ini juga.
Karenanya, akhir pekan ini ayah dan bunda sengaja telah memesan tiket pesawat dan
penginapan demi merayakan prosesi sakral mereka ini. Tentu saja aku dan Loka
bahagia mendengarnya karena itu artinya sama seperti pulang kampung, kembali ke
kota kelahiranku, meskipun tidak ada satupun keluargaku yang tinggal di kota
ini.
“Ambar, besok bunda titip beberapa buku cerita
ya untuk Loka. Kamu mau ke toko buku kan katanya?” pinta bunda padaku begitu
pramusaji meletakkan dua cangkir cappucino di atas meja. Ia melemparkan
sesungging senyuman sebelum meninggalkan meja kami dengan kepulan asap dari
dalam cangkir.
Aku
memang berencana pergi ke toko buku dan beberapa toko lainnya untuk membeli
beberapa kelengkapan untuk Sekolah Alamku. Sudah setahunan ini aku merancang
sebuah sekolah alam yang kunamakan Sekolah Alam Banyu Biru. Sekolah Alam yang
kubangun adalah sebuah gagasan tentang konsep pendidikan di alam terbuka yang
aku dirikan di salah satu desa tertinggal di pinggiran daerah Jawa Barat. Aku
mendirikannya karena dorongan empati terhadap kondisi pendidikan masyarakatnya
yang rendah dan tingkat ekonominya yang tak cukup mumpuni untuk membiayai buah
hati mereka mengenyam pendidikan formal yang layak. Kunamakan Banyu Biru karena
lokasi sekolah alam itu dikelilingi oleh sebuah sungai kecil yang airnya begitu
jernih dan mengalir ke setiap pekarangan rumah warga. Jika dalam jumlah banyak,
air sungai ini akan nampak berwarna biru langit. Aku tidak terlalu faham
mengenai pantulan spektrum warna atau kandungan mikroorganisme apa yang
menyebabkan sungai itu bisa berwarna sedemikian cantik.
Ayah
dan bunda sangat mendukung setiap keputusanku dan semua tentang Sekolah Alam
itu. Terlebih, mereka sangat menyukai dunia anak-anak. Bulan depan Sekolah Alam
itu baru akan dibuka. Aku, dan bahkan seluruh anggota keluarga kami begitu tak
sabar menanti hari peresmian itu. Pun dengan mama di surga, ini adalah bentuk
baktiku pada mama. Mewujudkan mimpinya.
“Jadi gimana perkembangan Sekolah Alam kamu,
Mbar?” Tanya ayah sebelum menyesap kopinya untuk ke sekian kali.
“Bagus, Yah. Kemarin aku sudah mengadakan
sosialisasi kepada masyarakat sekitar tentang tujuan didirikannya sekolah itu.
Dan tanggapan mereka sangat baik. Sangat mendukung malah.”
“Ya baguslah kalau begitu. Asal jangan terlalu
sibuk sampai melupakan kesehatan kamu, Mbar. Kamu kan sering sakit. Jangan
terlalu kelelahan. Kalau perlu, coba kamu cari staff yang bisa membantu kamu.”
Pungkas ayah serius.
Sudah hampir tiga tahun ini, aku dan Loka
tinggal di rumah Om Arkhan dan istrinya. Mama lah yang mewasiatkan agar kami
tinggal bersama mereka selepas kepergian mama. Om Arkhan dan istrinya
menganggap kami layaknya seperti anak kandung sendiri. Mereka meminta kami
untuk memanggil mereka dengan panggilan ‘Ayah’ dan ‘Bunda’. Usia mereka juga
tidak terpaut jauh dengan usia papa dan mama seandainya mereka masih hidup.
Terlebih lagi, sudah sejak lama mereka menunggu tibanya saat ini. Belasan tahun
merasakan sepinya pelukan hampa tanpa anak, merayakan pesta ulang tahun anak
untuk orang lain, dan menjawab pertanyaan berniat baik dari teman-teman ataupun
rekan kerja, “Sudah hamil apa belum?” membuat kebahagiaan tak terkira ketika
menyambut kedatangan kami di keluarga kecil ini.