Ku lirik satu-satunya benda yang menggantung di tembok ruangan ini.
Sebuah jam dinding klasik usang dengan bandul yang masih aktif bergerak ke
kanan dan ke kiri. Di bagian atasnya tampak seekor laba-laba tengah menyulam
jarring-jaringnya. Memintal benang-benang kering hingga membentuk kerangka
simetris seperti jari-jari sepeda. Tak lama lagi jam itu akan berdentang. Menunjukkan
pukul 11 tepat. Matahari telah membumbung tinggi di langit Yogyakarta. Beberapa
pijar sinarnya menyelinap dari kisi-kisi jendela, lalu berhamburan di lantai
kayu tua ruangan ini.
Beberapa saat lagi jenazah mama akan dimakamkan. Setelah sekian
lama berperang melawan penyakit kanker yang dideritanya, akhirnya Tuhan meminta
mama untuk kembali kepadaNya dini hari ini. Aku dapat melihat semua pelayat
berwajah sendu itu memasuki pintu rumah kami. Aku juga bisa mendengar pecahnya
isakan sebagian mereka ketika melihat wajah mama untuk terakhir kali. Tapi aku
masih di sini, di loteng rumah kami. Di sini aku bisa leluasa mengintai siapa
saja sosok yang akan mengantarkan mama ke pusara. Di sini pula aku menantikan
kehadiran seorang lelaki yang namanya selalu terngiang dalam ingatanku.
Aku belum pernah bertemu dengannya secara
langsung. Aku hanya bisa mengenali wajahnya dari sebuah foto berusia belasan
tahun yang aku temukan di kamar mama. Usia yang bahkan aku belum lahir ke dunia
ini. Foto berharga itu ku temukan tidak sengaja terselip di salah satu buku
koleksi mama saat aku ingin meminjam novel Sherlock Holmes miliknya. Aku memang
sangat menyukai cerita detektif. Meskipun semua orang, kecuali mama dan Kak
Ambar, selalu tidak mempercayai bahwa aku mampu memahami novel itu. Mereka
bilang aku lebih cocok dengan buku mewarnai anak-anak atau buku fabel
bergambar.
Itu
dia! Tak butuh waktu lama bagiku untuk menunggu. Aku begitu mengenali wajah
itu. Wajah yang kukenal dari sebuah rekam gambar yang begitu kuandalkan. Wajah
yang tak banyak berubah setelah belasan tahun berlalu.
Setelah memarkir mobil, lelaki itu bergegas
turun dan merapikan kemeja hitam pekatnya. Wajahnya tenang namun berawan. Saat
melihatnya, sekejap aku menahan napas. Mataku tak pernah meninggalkan sosoknya
saat ia mulai melangkahkan kaki memasuki halaman rumah kami. Derap langkahnya
seakan mengharmoniskan dengan debar jantungku. Ya, aku menantikan dirinya.
Mendadak adegan itu menjadi adegan dalam gerak lambat. Aku terlonjak dari
posisi dudukku dan tergesa-gesa menuruni anak tangga agar bisa berada tepat di
samping jenazah mama sebelum lelaki itu berhasil mencapai ruangan.
“Halo Loka... Apa kabar? Om turut berduka atas
kepergian mama kalian. Perkenalkan. Om Arkhan adalah sahabat dari mama dan
papamu.” Katanya sembari memamerkan barisan gigi nya yang berjajar rapi. Ia
menjulurkan tangannya ke hadapanku, mengambil posisi tepat di sebelahku dan Kak
Ambar segera setelah memasuki ruangan, tempat jenazah mama diletakkan. Aku
balas menyambut uluran tangannya yang hangat dan seketika kehangatannya terasa
menjalar di sekujur tubuhku. Senyum teduhnya masih menempel dan matanya tak
luput mengawasi gerak-gerikku. Mata besar berwarna coklat tua, dikitari oleh
bulu mata yang hitam dan tebal. Ada cekung kelabu bergelayut di bawah matanya
dan pelupuk mata yang agak sembab. Layaknya orang yang baru saja menyelesaikan
tangis. Aku hanya mengangguk pelan dan tersenyum tawar.
"Sepertinya kakakmu sangat terpukul.” Kata
lelaki itu kepadaku. Cara bicaranya menyiratkan keprihatinan yang mendalam. Perhatiannya
kini teralihkan pada Kak Ambar yang berderai air mata. Ia coba menepuk simpatik
bahu kak Ambar beberapa kali. Berharap tangisannya akan segera sirna karena
sentuhan di pundaknya itu. Sekali lagi, aku hanya mengangguk pelan. Dan ia
kembali tersenyum kepadaku.
Mungkin di dalam benaknya, aku hanyalah seorang
gadis yang terlalu kecil dan tidak memahami arti kematian seseorang. Bahkan
kematian seorang ibu. Hingga tak ada bulir air mata yang membasahi pipiku. Dan
sekali lagi, ia menatapku lekat-lekat sembari mengumbar senyum teduhnya.
Lelaki itu bergerak pelan mendekati mama, duduk
bersimpuh di sebelah tubuh yang terbujur kaku. Dengan takzim, pelan-pelan ia
membuka ikatan kain kafan di bagian kepala mama. Ia nampak tercenung beberapa
saat menyaksikan wajah mama yang pucat pasi. Ada titik-titik peluh yang menetes
dari wajahnya. Ia tidak menangis. Mungkin kantung air matanya telah mengering
sebelumnya. Aku bisa menangkap titik penyesalan di pupil matanya yang coklat
tua. Sebuah penyesalan yang tidak mampu aku terka apa maknanya, namun aku bisa
merasakannya. Ia terduduk lunglai menatap mama lekat-lekat, mendekatkan wajah ke arah mama, melantunkan lamat-lamat doa
sendu dan pelan-pelan mencium kening mama.
0 komenkomen:
Post a Comment
Wow.. I love comments! you just made my day! Thanks