January 20, 2016

Clamour - Prolog(ue)




Ku lirik satu-satunya benda yang menggantung di tembok ruangan ini. Sebuah jam dinding klasik usang dengan bandul yang masih aktif bergerak ke kanan dan ke kiri. Di bagian atasnya tampak seekor laba-laba tengah menyulam jarring-jaringnya. Memintal benang-benang kering hingga membentuk kerangka simetris seperti jari-jari sepeda. Tak lama lagi jam itu akan berdentang. Menunjukkan pukul 11 tepat. Matahari telah membumbung tinggi di langit Yogyakarta. Beberapa pijar sinarnya menyelinap dari kisi-kisi jendela, lalu berhamburan di lantai kayu tua ruangan ini.
Beberapa saat lagi jenazah mama akan dimakamkan. Setelah sekian lama berperang melawan penyakit kanker yang dideritanya, akhirnya Tuhan meminta mama untuk kembali kepadaNya dini hari ini. Aku dapat melihat semua pelayat berwajah sendu itu memasuki pintu rumah kami. Aku juga bisa mendengar pecahnya isakan sebagian mereka ketika melihat wajah mama untuk terakhir kali. Tapi aku masih di sini, di loteng rumah kami. Di sini aku bisa leluasa mengintai siapa saja sosok yang akan mengantarkan mama ke pusara. Di sini pula aku menantikan kehadiran seorang lelaki yang namanya selalu terngiang dalam ingatanku. 




Aku belum pernah bertemu dengannya secara langsung. Aku hanya bisa mengenali wajahnya dari sebuah foto berusia belasan tahun yang aku temukan di kamar mama. Usia yang bahkan aku belum lahir ke dunia ini. Foto berharga itu ku temukan tidak sengaja terselip di salah satu buku koleksi mama saat aku ingin meminjam novel Sherlock Holmes miliknya. Aku memang sangat menyukai cerita detektif. Meskipun semua orang, kecuali mama dan Kak Ambar, selalu tidak mempercayai bahwa aku mampu memahami novel itu. Mereka bilang aku lebih cocok dengan buku mewarnai anak-anak atau buku fabel bergambar.
            Itu dia! Tak butuh waktu lama bagiku untuk menunggu. Aku begitu mengenali wajah itu. Wajah yang kukenal dari sebuah rekam gambar yang begitu kuandalkan. Wajah yang tak banyak berubah setelah belasan tahun berlalu.
Setelah memarkir mobil, lelaki itu bergegas turun dan merapikan kemeja hitam pekatnya. Wajahnya tenang namun berawan. Saat melihatnya, sekejap aku menahan napas. Mataku tak pernah meninggalkan sosoknya saat ia mulai melangkahkan kaki memasuki halaman rumah kami. Derap langkahnya seakan mengharmoniskan dengan debar jantungku. Ya, aku menantikan dirinya. Mendadak adegan itu menjadi adegan dalam gerak lambat. Aku terlonjak dari posisi dudukku dan tergesa-gesa menuruni anak tangga agar bisa berada tepat di samping jenazah mama sebelum lelaki itu berhasil mencapai ruangan.

“Halo Loka... Apa kabar? Om turut berduka atas kepergian mama kalian. Perkenalkan. Om Arkhan adalah sahabat dari mama dan papamu.” Katanya sembari memamerkan barisan gigi nya yang berjajar rapi. Ia menjulurkan tangannya ke hadapanku, mengambil posisi tepat di sebelahku dan Kak Ambar segera setelah memasuki ruangan, tempat jenazah mama diletakkan. Aku balas menyambut uluran tangannya yang hangat dan seketika kehangatannya terasa menjalar di sekujur tubuhku. Senyum teduhnya masih menempel dan matanya tak luput mengawasi gerak-gerikku. Mata besar berwarna coklat tua, dikitari oleh bulu mata yang hitam dan tebal. Ada cekung kelabu bergelayut di bawah matanya dan pelupuk mata yang agak sembab. Layaknya orang yang baru saja menyelesaikan tangis. Aku hanya mengangguk pelan dan tersenyum tawar.
"Sepertinya kakakmu sangat terpukul.” Kata lelaki itu kepadaku. Cara bicaranya menyiratkan keprihatinan yang mendalam. Perhatiannya kini teralihkan pada Kak Ambar yang berderai air mata. Ia coba menepuk simpatik bahu kak Ambar beberapa kali. Berharap tangisannya akan segera sirna karena sentuhan di pundaknya itu. Sekali lagi, aku hanya mengangguk pelan. Dan ia kembali tersenyum kepadaku.
Mungkin di dalam benaknya, aku hanyalah seorang gadis yang terlalu kecil dan tidak memahami arti kematian seseorang. Bahkan kematian seorang ibu. Hingga tak ada bulir air mata yang membasahi pipiku. Dan sekali lagi, ia menatapku lekat-lekat sembari mengumbar senyum teduhnya. 
 Lelaki itu bergerak pelan mendekati mama, duduk bersimpuh di sebelah tubuh yang terbujur kaku. Dengan takzim, pelan-pelan ia membuka ikatan kain kafan di bagian kepala mama. Ia nampak tercenung beberapa saat menyaksikan wajah mama yang pucat pasi. Ada titik-titik peluh yang menetes dari wajahnya. Ia tidak menangis. Mungkin kantung air matanya telah mengering sebelumnya. Aku bisa menangkap titik penyesalan di pupil matanya yang coklat tua. Sebuah penyesalan yang tidak mampu aku terka apa maknanya, namun aku bisa merasakannya. Ia terduduk lunglai menatap mama lekat-lekat, mendekatkan wajah ke arah mama, melantunkan lamat-lamat doa sendu dan pelan-pelan mencium kening mama.

0 komenkomen:

Post a Comment

Wow.. I love comments! you just made my day! Thanks