January 20, 2016

Clamour

Tahanlah napasmu sebentar
Dan gelegak tawa yang membanjiri pesta kebun
Terselip dirimu di antara dongeng pengantar tidur nenek 
Durjana malang yang dilemparkan ke ujung horizon




Lelaki itu menyeret kakinya dengan susah payah, melintasi jalan setapak di rimbunnya hutan tropis. Ia tersaruk-saruk sambil memegangi kaki kanannya yang robek di bagian paha dan terus mengalirkan darah segar. Sesekali ia berhenti melangkah untuk mengurai belukar rambat yang membelit kakinya. Membuat pergerakannya kian sulit. Tanpa ia sadari, cairan berwarna merah pekat itu akan menjadi jejaknya di atas dedaunan kering yang meranggas.

“Kau pikir kau bisa lari dengan mudah dariku?! Kakimu terluka parah, Arkhan! Kenapa kau masih bersikeras untuk kabur. Hahaha” 

Tawa wanita licik itu terdengar sumbang di telingaku. Suaranya serupa iblis. Bunyi derap langkahnya ringan namun panjang. Bola matanya liar layaknya seekor predator memburu mangsa. Tangannya menggenggam sebuah benda panjang berkilat dengan ujung bernoda darah. Sebilah pisau.

“Lelaki bajingan sepertimu pantas untuk mati, Arkhan!” Teriak wanita itu lantang.

Wajah lelaki malang itu berubah pias. Tubuhnya seakan lemas seketika. Ia sudah tak mampu lagi untuk berlari. Matanya mengerjap-ngerjap. Kepalanya sakit tak karuan karena tak kuat menahan nyeri dari luka menganga di kakinya. Bukan jenis sakit kepala yang membuatmu berjalan terhuyung-huyung, tapi jenis sakit kepala yang membuat seluruh benda-benda di sekitar seakan berputar mengelilingimu dengan cepat dan menyebabkan tanah tempatmu berpijak menjadi bergelombang.

Lelaki itu mencoba memaksa kembali kakinya untuk bergerak, tapi entah bagaimana tubuhnya kini telah tersungkur di tanah dan merangkak. Selama beberapa saat, lelaki itu diam, berharap sakit kepala yang dideritanya akan segera musnah, tapi ternyata rasa sakit itu tak juga berlalu. Rasa panik mulai menjalari lelaki malang itu. Ragu-ragu ia bergerak maju. Bergerak sangat lambat. Sebagian besar wilayah hutan tidak memberi cukup tempat persembunyian memadai. Bersembunyi untuk menyelamatkan diri. Satu-satunya harapan adalah bergerak menuju bangunan tua bekas gudang yang dulu sering digunakan untuk menyimpan alat-alat penebang kayu. Lelaki itu tidak boleh tertangkap di sini, merangkak lemah di tempat terbuka.

Sementara sinar sore yang tipis semakin sayup. Awan kelabu bertumpuk-tumpuk di atas sana. Lelaki itu menengadahkan wajah ke langit senja yang tiris. Setetes air bening jatuh tepat di batang hidungnya yang bengkok. Senja sore ini berwarna lembayung pekat, seakan ingin menumpahkan kemuraman bagi siapa saja yang berada di bawahnya. Begitu pula dengannya.

Kelam semakin menyergap. Satu, dua, dan gemericik kecil lainnya akhirnya turun ke bumi. Angin sudah menderu-deru gaduh. Lelaki itu hampir mencapai gudang bekas itu. Ia mengerang kesakitan ketika mencoba berdiri dan berjalan terseok untuk berteduh di sebuah bangunan reyot tanpa ubin itu. Ia rapatkan punggung ke dinding seng yang berkarat dan rapuh bolong-bolong untuk menghindari tempias. Kaus merahnya yang mencolok nampak samar dari luar bangunan, namun tertangkap mata melalui bolongan seng. Dinding seng bergetar pelan seirama dengan napas Arkhan yang satu-dua. 

“Manusia macam apa kau, Ambar!” Pekik Arkhan mengumpat dalam hati. Napasnya kini tersengal-sengal. Manik-manik peluh bergulir satu persatu di tepi keningnya, meski cuaca terasa begitu dingin mengikis. Ia tak habis pikir dengan kebrutalan anak angkat yang telah hidup bersamanya beberapa tahun itu. Robekan di kaki kanannya adalah akibat dari serangan liar sang anak angkat, Ambar.

Guntur telah semakin menggertak di atas sana. Garis-garis hujan semakin rapat dan membasahi wanita itu. Setiap tetes dingin hujan terasa menghujam kulitnya. Di keremangan hutan ini, aku dapat menangkap mata wanita itu berkilat-kilat. Kerjapan kilat di langit memperlihatkan sekilas wajahnya yang beku tanpa ekspresi.

“Dasar bodoh!” Umpat wanita itu sinis. Ia menyeringai memperhatikan bercak merah darah yang ditemukannya. Napasnya memburu. Pakaiannya sedikit basah karena hujan. Pisau yang ia genggampun perlahan bersih tanpa bekas apapun. Luruh bersama air langit yang jatuh ke tanah. Wanita itu bergerak tangkas menyusuri jejak darah sebelum hujan berhasil menghapusnya.

Sesaat kemudian langkahnya terhenti. Ketipak-ketipuk sepatunya seakan raib ditelan derasnya suara hujan. Dingin semakin menusuk hingga ke sumsum tulang. Tempat ini hanya mendapat temaram dari senter kecil di tangan kanan wanita itu. Ia menyeringai. Pangkal gerahamnya beradu kuat. Matanya merah menerbitkan kebencian yang mendalam. Dihadapannya terpampang sebuah seng rapuh. Ia jatuhkan senter miliknya tepat di samping tubuhnya. Wajahnya kini kembali membeku. Dihunusnya pisau menantang langit yang tengah berkecamuk dengan kedua tangannya. Ia biarkan guyuran hujan mengaliri tiap helai rambut panjangnya. Lalu dengan satu tarikan nafas, ia mengayunkan belati panjangnya dan diarahkannya lurus-lurus menembus seng tua itu.

“AAAAAAAAAAAKKKKKK…………..!!!!!” teriakan lelaki malang itu terdengar parau. Suaranya hanya sampai di pangkal tenggorokan. Napasnya tercekat. Ia menundukkan kepala meratapi sebuah belati berlumuran darah yang menembus perutnya. Matanya nanar. Badannya berguncang, lantas ambruk dan terhempas tak berdaya. Mulutnya menganga mengeluarkan suara serak yang hampir tak terdengar. Menyangga erangan yang tak sempat muncul ke permukaan dan tertahan di kerongkongan. Kelopak matanya pelan-pelan terkatup. Helaan napasnya hanyut terbawa gemuruh petir. Malaikat maut baru saja berkemas dari tempat itu. 

*dess

0 komenkomen:

Post a Comment

Wow.. I love comments! you just made my day! Thanks