Tahanlah napasmu sebentar
Dan gelegak tawa yang membanjiri pesta kebun
Terselip dirimu di antara dongeng pengantar tidur nenek
Durjana malang yang dilemparkan ke ujung horizon
Lelaki itu menyeret kakinya dengan susah payah, melintasi jalan setapak di rimbunnya hutan tropis. Ia tersaruk-saruk sambil memegangi kaki kanannya yang robek di bagian paha dan terus mengalirkan darah segar. Sesekali ia berhenti melangkah untuk mengurai belukar rambat yang membelit kakinya. Membuat pergerakannya kian sulit. Tanpa ia sadari, cairan berwarna merah pekat itu akan menjadi jejaknya di atas dedaunan kering yang meranggas.
“Kau pikir kau bisa lari dengan mudah dariku?! Kakimu terluka parah, Arkhan! Kenapa kau masih bersikeras untuk kabur. Hahaha”
Tawa
wanita licik itu terdengar sumbang di telingaku. Suaranya serupa iblis. Bunyi derap langkahnya ringan
namun panjang. Bola matanya liar layaknya seekor predator memburu mangsa. Tangannya
menggenggam sebuah benda panjang berkilat dengan ujung bernoda darah. Sebilah
pisau.
“Lelaki
bajingan sepertimu pantas untuk mati, Arkhan!” Teriak wanita itu lantang.
Wajah lelaki malang itu berubah pias. Tubuhnya seakan lemas seketika. Ia sudah tak mampu lagi untuk
berlari. Matanya mengerjap-ngerjap. Kepalanya sakit tak karuan karena tak kuat
menahan nyeri dari luka menganga di kakinya. Bukan jenis sakit kepala yang
membuatmu berjalan terhuyung-huyung, tapi jenis sakit kepala yang membuat
seluruh benda-benda di sekitar seakan berputar mengelilingimu dengan cepat dan
menyebabkan tanah tempatmu berpijak menjadi bergelombang.
Lelaki itu
mencoba memaksa kembali kakinya untuk bergerak, tapi entah bagaimana tubuhnya
kini telah tersungkur di tanah dan merangkak. Selama beberapa saat, lelaki itu
diam, berharap sakit kepala yang dideritanya akan segera musnah, tapi ternyata
rasa sakit itu tak juga berlalu. Rasa panik mulai menjalari lelaki malang itu.
Ragu-ragu ia bergerak maju. Bergerak sangat lambat. Sebagian besar wilayah
hutan tidak memberi cukup tempat persembunyian memadai. Bersembunyi untuk
menyelamatkan diri. Satu-satunya harapan adalah bergerak menuju bangunan tua
bekas gudang yang dulu sering digunakan untuk menyimpan alat-alat penebang
kayu. Lelaki itu tidak boleh tertangkap di sini, merangkak lemah di tempat
terbuka.
Sementara
sinar sore yang tipis semakin sayup. Awan kelabu bertumpuk-tumpuk di atas sana.
Lelaki itu menengadahkan wajah ke langit senja yang tiris. Setetes air bening
jatuh tepat di batang hidungnya yang bengkok. Senja sore ini berwarna lembayung
pekat, seakan ingin menumpahkan kemuraman bagi siapa saja yang berada di
bawahnya. Begitu pula dengannya.
Kelam semakin
menyergap. Satu, dua, dan gemericik kecil lainnya akhirnya turun ke bumi. Angin
sudah menderu-deru gaduh. Lelaki itu hampir mencapai gudang bekas itu. Ia
mengerang kesakitan ketika mencoba berdiri dan berjalan terseok untuk berteduh
di sebuah bangunan reyot tanpa ubin itu. Ia rapatkan punggung ke dinding seng
yang berkarat dan rapuh bolong-bolong untuk menghindari tempias. Kaus merahnya
yang mencolok nampak samar dari luar bangunan, namun tertangkap mata melalui
bolongan seng. Dinding seng bergetar pelan seirama dengan napas Arkhan yang
satu-dua.
“Manusia macam
apa kau, Ambar!” Pekik Arkhan mengumpat dalam hati. Napasnya kini
tersengal-sengal. Manik-manik peluh bergulir satu persatu di tepi keningnya,
meski cuaca terasa begitu dingin mengikis. Ia tak habis pikir dengan kebrutalan
anak angkat yang telah hidup bersamanya beberapa tahun itu. Robekan di kaki kanannya
adalah akibat dari serangan liar sang anak angkat, Ambar.
Guntur telah
semakin menggertak di atas sana. Garis-garis hujan semakin rapat dan membasahi
wanita itu. Setiap tetes dingin hujan terasa menghujam kulitnya. Di keremangan
hutan ini, aku dapat menangkap mata wanita itu berkilat-kilat. Kerjapan kilat di
langit memperlihatkan sekilas wajahnya yang beku tanpa ekspresi.
“Dasar bodoh!”
Umpat wanita itu sinis. Ia menyeringai memperhatikan bercak merah darah yang
ditemukannya. Napasnya memburu. Pakaiannya sedikit basah karena hujan. Pisau
yang ia genggampun perlahan bersih tanpa bekas apapun. Luruh bersama air langit
yang jatuh ke tanah. Wanita itu bergerak tangkas menyusuri jejak darah sebelum
hujan berhasil menghapusnya.
Sesaat
kemudian langkahnya terhenti. Ketipak-ketipuk sepatunya seakan raib ditelan derasnya
suara hujan. Dingin semakin menusuk hingga ke sumsum tulang. Tempat ini hanya
mendapat temaram dari senter kecil di tangan kanan wanita itu. Ia menyeringai.
Pangkal gerahamnya beradu kuat. Matanya merah menerbitkan kebencian yang
mendalam. Dihadapannya terpampang sebuah seng rapuh. Ia jatuhkan senter
miliknya tepat di samping tubuhnya. Wajahnya kini kembali membeku. Dihunusnya
pisau menantang langit yang tengah berkecamuk dengan kedua tangannya. Ia
biarkan guyuran hujan mengaliri tiap helai rambut panjangnya. Lalu dengan satu
tarikan nafas, ia mengayunkan belati panjangnya dan diarahkannya lurus-lurus menembus
seng tua itu.
“AAAAAAAAAAAKKKKKK…………..!!!!!”
teriakan lelaki malang itu terdengar parau. Suaranya hanya sampai di pangkal
tenggorokan. Napasnya tercekat. Ia menundukkan kepala meratapi sebuah belati
berlumuran darah yang menembus perutnya. Matanya nanar. Badannya berguncang, lantas ambruk dan terhempas tak berdaya. Mulutnya menganga mengeluarkan suara serak yang hampir tak terdengar. Menyangga erangan yang tak sempat muncul ke permukaan dan tertahan di kerongkongan. Kelopak matanya
pelan-pelan terkatup. Helaan napasnya hanyut terbawa gemuruh petir. Malaikat
maut baru saja berkemas dari tempat itu.
*dess
0 komenkomen:
Post a Comment
Wow.. I love comments! you just made my day! Thanks